Aku menyadari bahwa selalu ada jalur pada pemikiran, jalur sudut pandang, jalur bias lingkungan dan pengalaman yang terbentuk sendiri pada setiap kepala, atau bahkan itu tidak ada. Pemaknaan ini dihalangi bahasa yang tidak sanggup menampungnya, atau hanyalah kosakata pribadi yang tidak kuketahui, atau bahkan susunan huruf dan kalimat yang masih acakan, abstrak, tidak tercapai. Penyadaran ini hanyalah pembatas melampiaskan. Aku berterimakasih pada pencipta bahasa, bunyi dan lagu, puisi, gerak tubuh, otak-otak yang lain, serta Tuhan yang membantuku untuk melakukan pengungkapan.
Belakangan ini begitu banyak cemas menghampiri. Cemas ini seolah datang pada masa-masa yang menurut orang adalah sebuah fase. Keadaan yang menurutku juga menakutkan ketika terlibat dalam arus yang terkesan seolah agak soksok-an, atau hanyalah persepsi yang menjadi-jadi.
Aku merasakan betul berada dalam fase ini, fase anak kuliahan, fase dimana pertanyaan kecil dan besar, sederhana dan rumit, labil dan kompleks, eksistensi dan murni terus mengalir baik pasif dan aktif, terjawab dan tidak terjawab, terabaikan dan memusingkan. Dunia menjadi teka teki rumit. agama, politik, struktur, sistem, sains, metafisika dan yang lain sungguh tak bisa kujamah. Citra, simbol, konsep, sepertinya tak punya realitas esensial pada dirinya sendiri, sekedar representasi alam material yang nyata. pikiran, kesadaran, jiwa adalah propertis dari alam indrawi dan dinamika saraf. Kebahagiaan adalah kadar dopamine, depresi adalah serotonin disimpul syaraf, gelisah adalah acetylcholine di hippocampus. Dan yang menarik itu semua tidak salah amat
Aku rasanya belum sempurna seAku-aknya, Aku masih berproses menjadi Aku, Aku yang terus dibenturkan oleh lingkungan sekitar dan juga cara, pola, serta pemberian Tuhan yang terus berproses. Menyadari bahwa Aku yang tertulis, kusebutkan, dan kusebutkan bukanlah Aku yang murni, belum lagi jiwa yang sepertinya bersebrangan namun tetap berada pada jalur Aku, atau bahkan tidak. Jiwa yang mengambang, membuat ruang kosong untuk isi-isian yang terus terganti oleh Liyan. Bebebrapa yang aku tuakan juga mengiyakan, memuntaahkan sedikit ceritanya,, membuat fase-fase baru. Belum lagi muntahan lebih jauh yang aku sebutnya fase umum oleh level selanjutnya. Aku menyadari betul petualangan fikiran, dan rasa ini bisa saja berbeda pada level yang lain atau stag, atau bercampur. Hanyalah pola yang semua manusia akan lewati, atau tidak semua karena pembatas kompleks. Hanya mencoba berimajinasi pada posisi level selanjutnya yang tidak mungkin kulangkahi ketika belum waktunya. Sejauh apapun mencoba, saat ini Aku hanya terdiam di titik ini, pada level ini. Akan kuyakini waktu yang sebenar-benarnya waktu akan menjawab dengan arah yang tidak kuketahui darimana datangnya dan tidak akan kuketahui kapan berpindah. Atau semua itu tidak ada.
Idealisku mulai kupermainkan, kudesain, kurangkai, kadang ambruk, berantakan, bahkan lenyap sekilas. Mencoba melakukan posisi netral pada setiap posisi yang kusadari betul itu akan sungguh rumit bahkan tidak mungkin. Hanya bisa merasa bahwa setiap titik di perjalanku menjadi titik tengah. berada antara yang kaya dan miskin, pintar dan belum pintar, bodoh dan tidak bodoh, baik dan belum baik, bahkan idealis dan belum idealis. Padahal titik itu sebenarnya masih jauh lebih banyak dari jangkauanku sendiri. titik kaya dan miskin, titik kaya sekali dan kaya, miskin sekali dan miskin, titik ditengahnya lagi yang tak berujung. Bahkan Pandanganku akan posisi netral bisa saja hanyalah sudut pandang pada titik yang jauh dari titik tengahku sekarang. Titik dimana aku sedang bergantung, dan melayang. Dan kupastikan itu bukanlah titik tengah sepenuhnya, sempurna. Semua orang bisa menganggap dirinya berada pada titik mana saja, dan Aku melakukan hal yang sama.
Dalam beberapa lontaran argumen, pendapat, ataupun pertanyaan, Aku menyadari betul bahwa itu murni kelabilan dan rasa ingin tahulu yang masih ingin. Soe Hok Gie adalah bentuk nyata yang masih kuagungkan. Hanyalah kata "aktivis" dan "idealis" yang kadang menghiperbola keadaan, suasana, dan pemaknaan. Melunturkan kemurnian jiwa yang ingin bersuara atau hanya berbisik atau bahkan berteriak. Namun pada posisi ini, lagi-lagi terdapat fase baru, fase yang kubuat sendiri pada titik yang tidak kuketahui dimana letaknya. Fase yang seolah menjadi lawan, tersingkirkan, menyendiri, sok, atau biasa.
Kecemasan ini sepertinya lebih dari kecemasan, ada banyak bisikan dari luar dan dalam yang memisahkan seluruh rasa dan entah dimana mereka bersatu tercampur aduk. Cemas sebagai fese, titik, atau entah apa namanya. Ada rindu, kecewa, harapan, gelisah, bahagia, nikmat, santai, tegang,bahagia, marah, sepi, ramai dan rasa abstrak lain. Semuanya bersuara. Belum lagi pada hamparan dunia materialistik didepanku yang berbahasa beda.
Dan ternyata Aku tidak sendiri disini, hanya merasa. Cemas hanyalah cemas yang kuyakini akan berpindah pada dualismenya. Aku disini dengan air dimata dan Aku siap