Kisah
nyata ini begitu saja terbersit ketika masih melamun mengimajinasikan betapa
cerdasnya pemikir-pemikir dulu seperti Galileo, Aristoteles, Newton dll. Kasusnya
mudah saja Aristoteles saat itu beranggapan bahwa keadaan alami suatu benda
adalah diam dan benda hanya bergerak kalau didorong suatu gaya atau impuls. Jadi
benda berat akan jatuh lebih cepat daripada benda ringan, karena benda berat
memiliki gaya tarik (berat benda = gaya penyebab) lebih besar menuju bumi. Inilah
gagasan yang menjembatani kajian-kajian ketuhanan, bahwa segalanya (akibat)
pasti diawali suatu penyebab. Kita biasa mengatakannya hukum “Sebab-Akibat”
atau “Stimulus-Respon” (Kausalitas). Akibat itu bisa terjadi langsung dan tidak
langsung. Contohnya kita melempar bola pingpong ke dinding (sebab) maka bola
langsung terpantul sesuai energi lemparan dikurang tahanan udara dan gaya
gravitasi (akibat). Begitu dinding menyentuh tembok seketika pula bola pantul,
itu disebut akibat langsung. Sementara
ketika bediri dalam sebuah ruangan besar yang kosong dan berteriak, maka
setelah teriakan kita muncul kembali pantulan suara yang disebut gema. Gema ini
adalah contoh akibat tidak langsung. Sebab
akibat ini tetap berada pada perhitungan ruang dan waktu. Maka Aristoteles
mengatakan kita hari ini dan segalanya adalah akibat dari sebab yang saling
mengikat satu sama lain. S-A’S-A’S-A...... dan begitu seterusnya. Dan sebab
pertama adalah Dialah Tuhan.
Aristoteles
mengatakan bahwa semua hukum yang mengatur alam semesta bisa dipelajari dengan
pemikiran saja (pembuktian dengan pengamatan tak diperlukan). Itu bisa jadi
benar, namun pengukuran Galileo menunjukkan bahwa tiap benda mengalami
pertambahan kecepatan (percepatan) yang sama. Penemuan Galileo ini mengilhamkan
sesuatu kepada Newton yang kita sebut Hukum Newton. Gagasan Newton dinyatakan
tersurat dalam Principia Mathematica
yang terbit pada 1687.
HN1 : “Jika
resultan gaya pada suatu benda sama dengan nol, maka benda yang diam akan tetap
diam dan benda yang bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan tetap”. Artinya
benda yang diam akan mempertahankan kediamannya, benda bergerak akan
mempertahankan kecepatannya. Contoh yang paling baik adalah saat mengendarai
motor. Pada waktu kita diam diatas motor kemudian seketika menaikkan gas dengan
cepat, maka badan akan cenderung mempertahankan kediamannya, sebagai akibatnya
badan akan seolah terdorong kebelakang. Sebaliknya, ketika motor dalam
kecepatan tinggi dan secara tiba-tiba di rem, motor dan badan tidak akan
seketika itu berhenti namun seolah terdorong kedepan karena badan dan motor
berusaha mempertahankan kecepatan geraknya. jika tidak ada gaya total yang bekerja pada
sebuah benda, maka benda tersebut akan tetap diam, atau jika sedang bergerak,
akan bergerak lurus beraturan (kecepatan konstan).
HN2 : "Percepatan sebuah benda berbanding lurus dengan gaya total yang
bekerja padanya dan berbanding terbalik dengan massanya. Arah percepatan sama
dengan arah gaya total yang bekerja padanya.". Ketika benda
dipengaruhi gaya maka benda akan mengalami percepatan atau perubahan kecepatan
sebanding dengan gaya yang memengaruhi. Sederhananya , Suatu gaya total yang
diberikan pada sebuah benda mungkin menyebabkan lajunya bertambah. Akan tetapi,
jika gaya total nya itu mempunyai arah yang berlawanan dengan gerak benda, gaya
tersebut akan memperkecil laju benda. Jika arah gaya total yang bekerja berbeda
arah dengan arah gerak benda, maka arah kecepatannya akan berubah (dan mungkin
besarnya juga). Karena perubahan laju atau kecepatan merupakan percepatan,
berarti dapat dikatakan bahwa gaya total dapat menyebabkan percepatan.
HN3 : "Ketika suatu benda memberikan gaya pada benda kedua, benda kedua
tersebut memberikan gaya yang sama besar tetapi berlawanan arah terhadap benda
pertama." Maksudnya Hukum
ke tiga Newton ini kadang dinyatakan
sebagai hukum aksi-reaksi, “untuk setiap aksi ada reaksi yang sama dan
berlawanan arah”. sangat penting untuk mengingat bahwa gaya “aksi” dan gaya
“reaksi” bekerja pada benda yang berbeda. Misalnya bola pingpong yang dilempar
kedinding menghasilkan reaksi yang berlawanan memantul ke arah sebaliknya
dengan gaya yang sama”.
Dari
putaran panjang pemahaman diatas, saya mengingat sebuah kejadian ketika saya
mengalami sakit demam dan muntah. Saat itu saya berada di umur-umur kelas satu
SMA. Karena sakit yang berkepanjangan, bapak saya memutuskan mengajak saya ke
dokter yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Tempat itu adalah rumahnya yang
sebagian di sulap menjadi tempat prakteknya. Setelah memeriksa, si dokter yang
terlihat tua, sehat dan kaya akan pengalaman banyak bercerita tentang dirinya. Bahwa
ia terlahir dari keluarga susah dengan banyak saudara, namun berhasil dalam
karirnya. Ia sudah belajar banyak hal terkait medis, pernah belajar dan
mengajar di berbagai negara. Tak lupa ia menambahkan “jika praktek dirumah, saya
selalu memberi harga yang murah bagi pasien disekitar sini, dan pelanggan saya”.
Semua itu cukup menakjubkan diri saya mendengarnya.
Namun
seketika saya gugup setelah si dokter cerdas itu melemparkan beberapa
pernyataan dan pertanyaan kepada saya. “Sudah kelas berapa kamu? Tinggal dimana?
Bagaimana kamu disekolah? Pintar tidak? Oke saya mau kasi kamu pertanyaan yang
sudah dibahas ketika kamu masih SMP, apa Hukum Newton yang pertama??? Ini pertanyaan
biasa”. Hati dan badan saya gugup, belum lagi bapak disebelah yang menatap
dengan senyum kecut seolah berbicara “anak saya ini baik dok!! Dia pasti bisa
menjawabnya! Itukan pertanyaan yang kata dokter sudah dipelajari sejak anak
saya SMP! Ayo anakku yang cerdas, kamu pasti bisa!!”. Akhirnya kepalaku
menggeleng atas jawaban ketidaktahuanku. Pandanganku sedikit berubah bias
pertanyaan tentang Hukum Newton.
Rangkaian
pertanyaan lain yang coba dia lemparkan kepada saya namun semua itu seperti
angin lewat tanpa suara. Kepalaku tunduk dengan emosi kecil. Namun anehnya
rasa kesal itu berubah menjadi hal positif saat jalan pulang. Kupeluk bapak
karena lemas masih menyelimuti tubuhku. Kapan-kapan kalau saya sakit lagi, saya
mau di periksa sama pak dokter yang cerdas itu, dalam hati.
Seandainya
dengan fikiran seperti sekarang dokter itu bertanya pertanyaan yang sama. Saya akan
bertanya balik. “saya tidak tahu jawaban pertanyaan bapak, tapi bapak bisa jawab tidak
pertanyaan saya. Setelan standar senar gitar nomor 1 itu nada apa? Atau nada ke
empat scale major kalo C=do itu apa? Atau pertanyaan lain yang sekiranya saya
tahu tapi dia tidak tahu”. Menurut saya pengetahuan yang tidak berhasil disimpan dan
diingat bukan karena kita bodoh, tapi seberapa penting dan seberapa berminat
kita mengenai suatu pengetahuan. Saya bisa menyalahkan guru SMP karena pada
saat pelajaran Fisika mengenai Hukum Newton, dia langsung memberikan rumus dengan
bahasa yang sulit kucerna, atau mengapa dia menyuruh kita memahami hukum newton
tanpa memberi contoh yang menarik mengenai kehidupan kita sehari-hari, agar
Hukum ini bisa kita pahami karena dianggap penting dan keren.
Lihat
saja sejarah berlangsung. Saya atau kita boleh mengatakan saat itu bahwa
Aristoteles benar dalam setiap gagasan yang dikeluarkan. Dengan yakinnya dia
bahwa “semua hukum yang mengatur alam semesta bisa dipelajari dengan pemikiran
saja (pembuktian dengan pengamatan tak diperlukan)” namun realitanya Galileo
berhasil mematahkan itu. Walaupun hukum kausalitas Aristoteles bisa dibenarkan,
tapi dia gagal menjelaskan keseluruhan karena ketidakmauannya melakukan
ujicoba.
Pada
akhirnya, ilmu pengetahuan jika ingin mudah dicerna dan dipahami serta diingat.
Haruslah menarik, penting bagi kita, dengan penjelasan yang bisa dipahami. Kalau
salah satu aspek tidak memenuhi, bukan salah manusia. Manusia itu adalah makhluk tercerdas, tidak bodoh. Dan pak dokter pintar,
apa kabar? Apa bapak masih sehat? Saya rindu bapak? Suatu saat kalau saya sakit
saya mau bapak saya antar ke sana lagi. Semoga bapak sehat. Saya banyak belajar
dari saat itu.
lihatlah Om Aristoteles berhasil merangsang Om Galileo, Om Galileo berhasil merangsang Om Newton. Semua punya peran penting. Semua berjalan indah dalam ruang dan waktu. begitupula bapak dokter dan saya.