Esok hari, setelah kamis ini, Aku ingin menemui mu seperti seseorang
muslim mendatangi pertemuan jumatan. Kau hanya boleh mendengarku dengan bayangan
dosa yang dibebankan di setiap kata yang sengaja kau suarakan di ruangan itu.
Kau boleh saja mengatakan hal ini sebuah egosentris, karena memang setiap orang
sepertinya punya hak memposisikan dirinya untuk berpendapat sesuai pengetahuan
dan olahan pikirannya terhadap apa yang dia alami. Walaupun hak seperti itu
sebenarnya hanyalah buatan kesepakatan kita tentang bagaimana seharusnya
sebagian naluri kita tersalur dalam hal bersikap jika kita mau jujur dalam
merenungi. Tapi kalau begitu, akupun berhak mengatakan bahwa selama ini telah
ku posisikan diriku sebagai seorang musafir yang menghampiri sebuah masjid di
sebuah desa kecil tempat warga sekitar menerima ketenangan akan hari-hari yang
sulit dijelaskan, walaupun kita kembali merasa bahwa tidak semua harus
dijelaskan, karena tidak semua menerima berarti kekalahan oleh ketidakmampuan
dimana banyak gairah diselimuti kemalasan. Aku disini, sampai hari ini, mendengarkan
mu. Lebih dari kata mendengar.
Tenang saja, omongan kita nanti tidak akan seperti pengkhotbah yang
berkepentingan secara sengaja membicarakan segala hal atas kepentingan akhlak
mulia bagi ummat beragama. Tapi Itu tidak berarti tidak penting, hanya saja
sepertinya terasa lebih sulit. Aku hanya ingin berbicara besok denganmu.
Baiklah, jadi begini, yang akan kuungkapkan besok, secara garis besar kemungkinan
seperti ini, bahwa setiap orang bisa saja berubah dalam sekejap pada suatu saat
karena sebuah insight yang bisa menyambar dalam hal-hal sederhana ataupun
proses yang panjang. Dan perubahan itu, sesuatu yang sulit digambarkan oleh
setiap orang karena kompleksitas dunia yang telah di ramu sedemikian rupa oleh
Yang Maha Seni. Aku bisa saja tidak bisa menemuimu dengan orang yang sama jika,
bahkan hanya beberapa saat tidak mengikuti hidupmu, apalagi terpisahkan dengan
ruang yang jauh.
Tapi itu sepertinya kesimpulan keremajaan ku yang terlalu
kekanak-kanakan, karena bentukan hal seperti itu tak terelakkan dalam hidup
yang aku pilih. Tetapi seperti banyak bentukan lain, memang otak kita sering bekerja
untuk mengkotak-kotakkan realitas. Bentukanku ini pun harus tetap dijadikan
sebuah sudut memandang. Aku, sepertinya hari ini, dengan jujur, hanya meyakini
untuk membuat banyak ruang berdiri di berbagai sudut tetapi tidak melupakan
membuat pula jalur untuk bisa melihat lebih dekat atau menjauh serta lebih
tinggi dan rendah untuk bisa melihat kedalaman, keterkaitan, dan hubunganku
dengannya.
Namun tenang saja, alismu jangan terlalu cepat kau kerutkan (aku berharap
besok tidak seperti itu). Karena hal seperti itu terlalu banyak bermain dengan
akal. Sementara kita ras manusia memiliki hal hal sederhana yang selalu tidak
mampu dirasionalisasikan. Yang banyak mengikat hubungan manusia dengan
kebeningan. Cinta yang baik hati itu dengan mudah terikat kebanyak hal seperti teman,
keluarga, benda, kita, dan segalanya yang bisa dirasakan. Kita pun akhirnya
bisa bertemu besok dengan diri yang telanjang akan kemurnian masing masing.
Jadi yang perlu kita temukan hanyalah, apakah memang kau dan aku tidak saling
menjadi halangan atas kehidupan yang tetap harus dijalani di realitas hari ?. Dan karena hambatan pun tidak selamanya buruk. Maka temui aku
besok jam 12 siang, saat matahari terik di atas kepala, dan aku akan melihat
matamu. Karena sering kali jawaban disana lebih banyak dari ucapanmu bahkan
saat ia menutup.