Pertama-tama, kita harus benar-benar
membedakan diri kita sebagai manusia, sebagai individu yang berdiri sendiri
dengan eksternal diri. Anggaplah kita semua belum tercipta sebelumnya, dan mari
kita melihat dari pandangan objektif revolusi yang terjadi.
Alam atau bumi kita atau
eksternal manusia adalah bentukan murni seratus persen. Tuhan menciptakan alam
dengan hukum-hukum dan cara kerjanya yang kita anggap sebagai bentuk
kesempurnaan. Berbagai siklus, simbiosis mutualisme, dan proses-proses alam
terjadi.
Dilain sisi Tuhan kita anggap
melelang ‘Nafsu’ kepada makhluknya. Dan saat itu terjadi, hanya manusia yang
menyanggupi menerimanya. Mengapa manusia disebut sebagai makhluk paling
sempurna? Karena pemberian nafsu dan akal/nalar yang sangat luarbiasa dan
memungkinkan kita mempertanyakan pencipta kita, meragukan apa saja, mengimajinasikan
apa saja. Nafsu dan akal bisa menjadi transportasi manusia untuk menuju tingkatan
lebih beriman dari Malaikat atau lebih berdosa dari setan.
Setelah kita paham akan kemurnian
alam dan kebebasan yang mendekati kesempurnaan dari manusia, keduanya lalu
digabungkan, ditempatkan bersamaan dalam suatu ruang dan saling berproses
didalamnya. Kita kemudian diberikan senjata berupa indra/sensori, dan perasaan
sebagai pengelolanya, dan akhirnya nalar serta akal yang memutuskan. Kita melihat
sebuah lembah bunga mawar, kemudian merasakan sebuah keindahan dan kesejukan,
dan memutuskan untuk duduk melihatnya serta tidak merusak mereka. Dilain kasus
kita mungkin melihat singa yang memburu kijang dan memangsanya, kemudian
merasakan sebuah ketegangan, kecemasan, ketakutan, lalu lari bersembunyi.
Jadi Perasaan adalah sebuang
ruang yang menjadi olahan apa yang indra rasakan. Perasaan mampu
mengubah suasana pribadi manusia menjadi apa yang dinginkan, baik sadar
ataupun tidak. Ketika kita mengolah perasaan
dalam sebuah kesenangan, akan tercitra dunia yang murni menjadi sebuah
keindahan, perilaku yang didasarkan nalar dan nafsu menjadi ikut bahagia. Namun
perasaan yang mengelola perasaan kecewa, sedih atau menderita akan menarik
citra alam atau kondisi eksternal manusia menjadi bentukan yang suram, penuh
ketidakbahagiaan. Nafsu dan nalar juga ikut-ikutan memutuskan apa yang perasaan
gambarkan.
Perasaan mampu menggambarkan
citra eksternal dan memandang dunia dalam bentuk apa saja. Jika kita sedih,
mungkin kita akan menganggap dunia yang tidak adil terhadap kita, semuanya
menjengkelkan, malas untuk melakukan hal yang baik-baik, rapuh untuk tetap
berjuang, merasa tidak berharga, melihat sesuatu menjadi tak bermakna.
Maka mari kita sadari betul apa
yang perasaan rasakan, karena eksternal tetap akan pada realitasnya yang murni
dan tak pernah ada rasa apapun didalamnya. Ia akan tetap demikian sampai sebuah
tindakan dilakukan secara fisik. Tetaplah berproses dengan perasaan apapun. Karena
perasaan juga merupakan sebuah mahakarya, ia memainkan peran penting, sebagai
insting yang sangat kuat sebagai makhluk. Perasaan adalah pewarna dalam
gambaran memahami semua.
Sedihmu
tidak akan 100% menjelaskan kesedihan sebenarnya, maka kebahagiaan tidak pula.
Sadari,
dan tetap berproses
0 komentar:
Posting Komentar