Sejak dua tahun terakhir
ingar-bingar pemberitaan tentang AFTA meluas pesat. Kecemasan mulai
menggerogoti fikiran kaum intelektual. AFTA (Asean Free Trade Area)
adalah salah satu kesepakatan oleh negara-negara di asia
tenggara yang telah dilakukan di Singapura pada tahun 1992. Dalam pertemuan
ASEAN Summit ke-4 yang di awali oleh enam negara yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand,
serta Vietnam, kemudian disusul Laos dan Myanmar pada tahun 1997, serta Kamboja
di tahun 1999. Pelaksanaan perjanjian AFTA ini berupa dibentuknya Asean
Economic Comunity (AEC), yang diintegrasikan pada tahun 2015. AEC ini akan mengubah ASEAN menjadi daerah
dengan pergerakan bebas pada barang, pelayanan, investasi, tenaga kerja yang
terampil,dan aliran modal yang lebih bebas juga.
Beberapa
tujuan AFTA yakni menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang
kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global,
kemudian menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI), serta
meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade). Untuk
menyederhanakan AFTA, kita bisa membayangkan ketika barang-barang akan bebas berputar di negara-negara Asia
tenggara tanpa adanya pajak. Pelajar akan bebas berpendidikan dinegara
Asiatenggara dan seluruh manyarakat punya hak untuk tinggal dan bekerja
dimanapun dikawasan AFTA tanpa visa.
Namun
ada tantangan besar yang harus dihadapi Indonesia dalam menyambut AFTA, yaitu
yang pertama bagaimana produsen Indonesia dituntut untuk terus dapat
meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara profesional guna dapat
memenangkan kompetisi produk, disamping itu pemberdayaan SDM di Indonesia masih
jauh tertinggal, dilihat dari catatan BPS pada Agustus 2013, bahwa pengangguran terbuka di Indonesia
mencapai 6,25%. Dari sumber yang sama kita dapati masih ada lebih dari 360 ribu
sarjana yang menganggur. Angka yang sangat memprihatinkan, dan berdasarkan indeks kompetensi
yang dikeluarkan oleh World Economic Forum pada tahun 2013, bahwa Indonesia
menempati urutan ke-50 atau lebih rendah dari Singapura (ke-2), Malaysia
(ke-20), dan Thailand (ke-30). Rendahnya kompetensi sumber daya Indonesia diperoleh
dari faktor-faktor yang saling berkaitan seperti: tenaga kerja/ahli profesi
yang tidak memiliki kualifikasi mumpuni; minimnya pelaksanaan sertifikasi
kompetensi; belum sesuainya kurikulum di sekolah menengah dengan keahlian
profesi; serta sumber daya manusia di Indonesia yang sangat berlimpah namun
belum dapat dioptimalkan oleh pemerintah. Apalagi melihat tamatan
SMA, SMP dan SD, tentunya akan mempunyai kesulitan yang lebih dalam persaingan
mencari kerja. Dengan adanya diterapkannya AFTA bisa jadi akan ada
ledakan pengangguran terdidik yang semakin nyata. Tenaga kerja dari luar negeri
akan menjadi tenaga-tenaga ahli, sementara kita hanya akan mengirim mayoritas tenaga
kerja kasar seperti pembantu rumah tangga, sopir, dan pekerja pabrik. Apalagi
Indonesia adalah target pasar nomor empat didunia, tidak heran ketika Ashwin
Pulunga berpendapat, bahwa “sadarkah kita semua bahwa AFTA dan WTO merupakan grand strategi tinggi para kapitalis
dunia untuk menghilangkan kedaulatan sebuah negara?” selain Indonesia sendiri,
negara seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar sebenarnya juga jika dilihat dari
data-data dan hasil survei belum siap akan AFTA.
Saya
rasa ini adalah salah satu informasi yang wajib diketahui oleh seluruh masyarakat
Indonesia, terutam mahasiswa untuk mempersiapkan diri. Saya paham betul bahwa
Indonesia belum siap dengan ini, namun kesepakatan akan tetap terlaksana di
tahun depan, 2015 sekitar bulan Desember. Kita punya seribu alasan untuk
mengatakan Indonesia tidak siap dengan AFTA, namun mari kita memulai dengan
planning diri sendiri untuk menghadapi AFTA, misalnya bercita-cita dan berjuang
untuk bisa berpendidikan tinggi di dalam maupun diluar negeri, meghasilkan/menciptakan
produk-produk baru yang bisa bersaing,
atau mempersiapkan planning lain yang meningkatkan kualitas diri.
Menyalahkan Indonesia hanyalah gerakan
jalan ditempat. Indonesia hanyalah nama, benda mati yang digerakkan oleh
manusia-manusia yang bernaung didalamnya. Gerakan persiapan yang bisa ditiru
yaitu, seperti negara Brunei Darussalam yang menambahkan kurikulum bahasa
Indonesia di SMA untuk meghadapi AFTA. Bahasa Inggris adalah harga mati untuk
ini semua.
Kita
bisa merasakan gerakan semangat menghadapi AFTA yang ditunjukkan lewat seminar
dan talkshow beberapa Universitas di Indonesia khususnya Fakultas Psikologi. Seperti
di UAD oleh Drs.choirul Anam, M.Si dengan topik “Persaingan Menghadapi
AFTA/ASEAN Community 2015”. Ada lagi di
kota Manado yang menjadi tuan rumah event bertaraf nasional dengan gelaran temu ilmiah dan kongres
Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) yang mengundang beberapa utusan negara di
ASEAN, dengan topik “Pembahasan Integritas, Keberbedaan &
Kesejahteraan Psikologi: Psikologi Menjawab Tantangan Nasional, Regional, dan
Internasional”. Di antara beberapa tokoh yang
akan hadir adalah DR. Goh Chee Leong (President ASEAN Regional Union of
Psychological Society), DR. Bambang Widjojanto (Komisi Pemberantasan
Korupsi), Prof. Dr. Hamdi
Muluk, M.Si (pakar Psikologi Politik
Indonesia), serta Seto Mulyadi (psikolog anak dan Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak). Kemudian gerakan PSYWEEK oleh BEM Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran dengan topik “Mempersiapkan mahasiswa,
umumnya generasi muda, khususnya mahasiswa psikologi, dalam menyambut
pelaksanaan dari perjanjian Asean Free Trade Area (AFTA)”.
0 komentar:
Posting Komentar