Pagi itu berlalu begitu saja. Hari-hari berjalan cepat membosankan. Apa bedanya hari kemarin sama hari ini? Hambar. Jam perkuliahan terakhir dipaksa berhenti oleh kesibukan dosen yang katanya mau mengurus sesuatu lebih penting daripada mengajar dikelas. Padahal pembahasan mengenai Fase Kelahiran mulai menarik hati, membayangkan diri ketika suatu saat punya istri cantik beraut kesakitan karena kontraksi bayi di perutnya.
Kuayun malas kedua kaki sambil
mencari sela kendaraan untuk menyebrang. Kedua tangan siap merapikan rambut yang
selalu jatuh lemas dan menutupi mata. Menyusuri jalanan kecil batako samping gedung
pusat yang hanya bisa dilewati satu pejalan kaki. Kadang saya mengalah pada
dosen lain ketika mereka jalan bersebrangan di jalan yang sama.
Matahari menyengat, menembus dua
lapis bajuku. Terasa tas kecil yang tergantung di pundak kiri mulai memberat. Tiba-tiba
sebuah mobil sedan gelap lewat lambat sebelah kiri. Kaca mobil terbuka dengan cepat.
Ada suara akrab bak sahabat mendengung “Uci……!!” . Kepalaku mengayun mencari
sumber suara dengan tangan kanan mengayungk rambut ke atas karena jalan tunduk
meresapi panas siang itu. “udah selesai kuliah?” katanya. “Iya pak” jawabku
super singkat. “ohh…Ok Uci” responnya sambil melambaikan tangan kanan keluar
kepadaku menandakan mobilnya akan melaju lebih cepat meninggalkanku. “hati-hati
pak” dengan nada sedikit naik karena jarak mulai menjauh. Tangannya mulai
mengepal sambil mengacungkan jempolnya, seolah berkata “OK”. Senyumnya tak
pernah berhenti memberi cahaya dijiwa. Baru kudapati senyum tulus seperti itu
sejak bangun lemahku di pagi buta.
Memang agak lebay. Namun saya
merasakan betul ada sebuah kerendah hatian seorang dosen. Mungkin bagi orang
dengan lingkungan penuh senyum, itu tidak berarti apa-apa. Namun posisiku
dengan lingkungan monoton merasakan kenyamanan berarti. Ini sama saja dengan kita
jika tiap hari makan pizza misalnya akan
biasa saja dibanding jika keseharian
kita makan tempe tahu dan tiba-tiba dapat makanan seperti pizza. Tidakkah itu member
kenyamanan lebih yang luarbiasa?
Namanya Drs. Wahyu Widodo, S.Psi,
M.Ag , yang akrab di sapa pak Wahyu. Ia mengajar sosiologi dan filsafat manusia
di F.Psikologi Univ Merdeka Malang. Ia orang yang santun dan terlihat
bijaksana. Saya hanya tidak menyhangka ia mau menyapa saya di tengah jalan dan
bertanya basa basi plus senyuman tulus kepada ku. Sebelumnya tak pernah
kujumpai dosen sedermawan dia.
Makasih pak, dari kejadian
singkat itu saya belajar banyak bahwa ternyata sapaan dan senyum dengan hati
yang tulus bisa memberi kesan menakjubkan jika dilakukan kepada siapa saja
tanpa mengenal usia, jabatan, gender dan lainnya.
Jangan bandingkan dengan kalian
yang sudah sering mendapat sapaan tulus dari orang lain apalagi dosen. Jiwaku disini
tidak. Makanya momen ini kutulis dengan harapan rasa ini tersampaikan bahwa “senyum
dan sapaan itu tidak hanya sekedar ibadah” lebih dari itu. Hariku saat itu
berubah senyum dan sapa mulai kulontar kepada bapak yang jaga parkiran, bapak
tukang kebun, ibu yang jualan, ibu pembantu sebelah rumah, bapak penjual bakso,
teman-teman, dan orang lain yang kutemui.
0 komentar:
Posting Komentar