Minggu, 15 Januari 2017

TARIAN KOSMIK

Sangat mencerahkan untuk bisa menyaksikan ibu baik yang cerdas ini menyampaikan hasil tampungan dan olahan di kepalanya dalam perjalanannya berusaha meruntutkan pencapaian-pencapaian manusia sampai tiba saatnya dia harus mandiri memposisikan diri terhadap seluruh perjuangannya yang sama seperti perjuangan banyak manusia, untuk mengisi hasrat yang sudah dititipkan dengan jawaban-jawaban penjelasan mengenai kehidupan. Ialah Karlina Supelli dengan jalan pencarian panjangnya melalui jalur sains.  Seorang kosmolog yang juga ahli dalam bidang filsafat serta turut andil dalam gerakan aktivis kemanusiaan yang terlibat perlawanan terhadap rezim militer Orde Baru.

Dalam ceramahnya yang disampaikan pada 18 Juni 2016 yang diselenggarakan oleh Teater Salihara (mohon menyingkirkan sejenak label tentang salihara dan terik manfaat apa yang mereka lakukan) dengan tema “Kosmos dan Masalah Kebebasan Tuhan” (nonton: youtube) , ia mengahiri kebingungannya yang sangat manusiawi dengan argumen bahwa ia cemburu dengan para seniman seperti sastrawan yang lebih bebas dalam melihat dan melaksanakan dunia, sementara sains begitu ketatnya mendasari diri yang akhirnya dikatakan bahwa sebenarnya sains sendiri memberi pesona keindahan yang berbeda dan itu membuat banyak ilmuwan menjadi nyaman untuk tetap melanjutkan perjuangannya melakoni hidup di jalan itu. Karena kosmologi pun menurutnya, mungkin bungkam pada suatu titik dimana ada fakta yang tidak dapat diabaikan yang membawa kerinduan naluriah. Karena sama dengan yang dijelaskan Hawking dalam The Grand Design bahwa seluruh gambaran teori pada akhirnya hanyalah spekulasi yang luarbiasa rentannya menjabarkan realitas asli (baca: realitas).

Karlina Supelli mengakhirinya dengan sedikit puitis, untuk setidaknya menyampaikan pengetahuannya yang secara implisit mengajak serta kehidupannya yang dia sadari tak akan terlepas dengan seluruh berkah berupa perasaan sebagai seorang manusia bahwa “antara Kosmos dan Tuhan barangkali ada jeda yang tiada habis senyapnya. Dan yang paling melegakan, setidaknya bagi saya yang telah habis terbentur-bentur, jatuh berkali-kali, paling tidak berhadapan dengan bahasa sabda yang pasti dan hukum-hukum sains yang nampak pasti seperti itu, berandai-andai menolong saya menemukan ruang umpama. Maka kita mengembangkan imajinasi, dan imajinasi itu bebas”. 

Memang rumit berhadapan dengan dualisme. Barat dan timur, sains dan agama, makan ini atau itu, mencintai kamu atau dia. Maka dengan mengandaikan Tuhannya berada di pojok tak tersentuh bersembunyi membuat Karlina Supelli justru mampu membebaskan dunia yang akhirnya membebaskan Tuhan.

Fritjof Capra, juga telah mengambil sikap yang hampir sama. Setelah pergolakannya yang menghasilkan karya tulisan berupa “The Tao Of Physics” upaya menyingkap kesejajaran antara fisika modern dan mistisme timur. Dengan 6 gagasan akhir Paradigma baru yang sangat mencerahkan lewat sistem swa-organisasi. Yaitu

1. Menghubungkan bagian menjadi keseluruhan dan berakhir lebih simetris. Artinya semua bidang dpahami melalui dinamika dari keseluruhan. Seperti tidak menganggap ilmu yang satu berbeda dari yang lain.
2. Pergesaran berpikir dalam konteks struktur menuju berfikir dalam konteks proses. Artinya bahwa setiap struktur yang kita amati adalah suatu manifestasi dari proses yang mendasarinya.
3. Pergeseran dari sains objektif ke sains epistemic. Bahwa epistemology-pemahaman akan proses berpengetahuan harus disertakan secara eksplisit tentang fenomena alam.
4.  Mengganti fondasi pengetahuan yang dianggap kukuh dimasa depan menjadi perumpamaan jaringan. Maka dengan begitu deskripsi kita baik itu konsep, model, dan teori akan menyusun suatu jaringan yang saling terhubung yang merepresentasikan fenomena yang teramati. karena konsep kita hanya sekedar konsep yang coba dilekatkan pada realitas sebenarnya.
5. Pergeseran dari kebenaran menuju deskripsi-deskripsi aproksimasi (kira-kira). Karena semua terhubung, kita harus memahami semua, tapi bagaimana bisa? Kita sangat terbatas, mustahil. hanya mengira-ngira realitas
6. Pergeseran metode dan nilai dari sikap mendominasi dan kendali atas alam termasuk umat manusia dalam ilmiah menjadi sikap kerjasama dan antikekerasan terhadap manusia, alam, dan cara kita berpengetahuan. Dalam hal ini sejarah mempersonifikasikan pada Francis Bacon yang dengan kelewat bersemangat dan seringkali bernuansa kejam untuk menundukkan alam yang sifatnya liar untuk bisa melayani dan memperbudak. Dengan menyiksa alam untuk maksa memberikan rahasia-rahasianya.

Akhirnya pun fisika, sebagai imam bagi bentuk sains yang lainnya, kehilangan peran dan berdampak pada sains lain semisal psikologi yang  memakan waktu cukup panjang mencari jati dirinya bahkan sampai saat ini. Desakan umat manusia hari ini untuk menyadari bahwa kita sudah melewati batas akan alam. Dan kita sudah terlalu jauh memanipulasi kesadaran murni dengan perkembangan materialistic.

Capra sudah menyampaikan pentingnya berposisi dalam menjalankan peran masing-masing. Di karya selanjutnya ia kemudian ia menemukan pertentangan kapitalisme global dam perencanaan eco-design yang berwawasan ekologis. Perjalanan keduanya menjadi tabrakan. Ia merasa harus mengubah sistem nilai yang mendasari ekonomi global sebelum terlambat. Dan dengan jelas, jernih  dan  praktis bukunya The Hidden Connections memperlihatkan pada kita bagaimana caranya.

Sama halnya pentingnya kita menemukan diri. Mencari gambaran ritme tarian diri masing-masing untuk sesegera mungkin mampu menghayati dan bergerak dalam proses hidup masing-masing. Dengan begitu, saya pikir setiap saat dalam langkah berkehidupan akan menjadi sebuah doa, harapan, dan perjuangan dengan garis finish yang sama kita rasakan, dimana ujung dari semua ini menjadi hal misterius terbesar yang mendorong kita untuk tetap memperjuangkan hal itu. lagi pula hal apalagi yang menarik bagi manusia jika pencariannya telah usai? Jika segala sesuatu telah menjadi kepastian? Dimana lagi letak estetika hidup? Ketegangan, jatuh cinta, cemburu, gusar, bahagia? padahal dengan instrumen manusia yang ada, membuat hal yang baik  mengalir disetiap partikel kehidupan, pun yang tidak baik untuk dirasakan yang semua akan saling hadir dalam panggung eksistensi bermanusia di proses pencariannya. Maka menemukan diri adalah langkah yang sangat bijak untuk memposisikan diri dalam perannya di dunia.

Apakah kita harus semuanya menjadi ilmuwan dan melakoni setiap detail-detail di laboratorium? Kita saling bahu membahu. Menyampaikan temuan masing-masing. Karena segalanya begitu besar, bisa saja di zaman itu Aristoteles, Plato, atau Galileo mampu mengetahui banyak apa yang terjadi dengan kemajuan pengetahuan saat itu, namun sekarang semua sudut bergerak sangat cepat, sangat luas, sangat dalam, dan hampir dipastikan siapapun dia, bagaimanapun kesungguhannya untuk belajar, selalu saja ada yang luput dan tidak ia ketahui.

Misalkan saja Erie Setiawan sebagai pakar musikologi juga telah memposisikan dirinya. Menemukan dirinya untuk melakoni hidup pada jalur musik. Perbedaan epistemology dan keabstrakan musik malah menjadi salah satu jalur terselubung yang membuahkan arah yang sejalan dalam pencerahan kesadaran bermanusia seutuhnya. Dengan pilihannya memasuki alam musik, ia kemudian banyak memberitakan hasil temuan-temuannya yang sangat indah dan mendidik yang selalu di kabarkan beliau lewat ceramah formal, diskusi, dan dalam tulisan-tulisannya.

Tapi sebentar lagi saya harus melakukan banyak keharusan yang tidak sesuai ritme diriku. Kadang-kadang aku keras terhadap apa yang kuanggap penting untuk kulakukan. Karena mudah saja bagiku untuk membentuk alasan agar tidak mengikuti tarian. Tetapi saya menyadari banyak selimut kemalasan disana. Nietzsche membuktikan keteguhannya dan sangat keras untuk hal itu. Lagian itu semua menjadi Swa-organisasi kehidupan kata Capra. Jadi hadapi saja, tidak dihadapi pun toh tetap penjadi penghadapan dengan cara yang berbeda.



Melelahkan memang berjalan sendiri.Setelah ini, Tidak perlu lagi apa isinya, saya butuh berbicara dengan seseorang sekarang.  Aku sudah mempelajari bagaimana bisa menjinakkan serigala dari setiap cambukan bunyi kata-kata angin, busuk, basi. Namun tak terduga, ada saja makna tersembunyi yang bisa kupetik dari perjumpaan. Dan ini yang membuatku sedikit tenang. Tabrakan dalam dansa menjadi hal yang lucu dan sangat wajar. Karena kita sesungguhnya tidak sedang berkompetisi.

Rabu, 11 Januari 2017

TEMUI AKU BESOK JAM DUA BELAS SIANG



Esok hari, setelah kamis ini, Aku ingin menemui mu seperti seseorang muslim mendatangi pertemuan jumatan. Kau hanya boleh mendengarku dengan bayangan dosa yang dibebankan di setiap kata yang sengaja kau suarakan di ruangan itu. Kau boleh saja mengatakan hal ini sebuah egosentris, karena memang setiap orang sepertinya punya hak memposisikan dirinya untuk berpendapat sesuai pengetahuan dan olahan pikirannya terhadap apa yang dia alami. Walaupun hak seperti itu sebenarnya hanyalah buatan kesepakatan kita tentang bagaimana seharusnya sebagian naluri kita tersalur dalam hal bersikap jika kita mau jujur dalam merenungi. Tapi kalau begitu, akupun berhak mengatakan bahwa selama ini telah ku posisikan diriku sebagai seorang musafir yang menghampiri sebuah masjid di sebuah desa kecil tempat warga sekitar menerima ketenangan akan hari-hari yang sulit dijelaskan, walaupun kita kembali merasa bahwa tidak semua harus dijelaskan, karena tidak semua menerima berarti kekalahan oleh ketidakmampuan dimana banyak gairah diselimuti kemalasan. Aku disini, sampai hari ini, mendengarkan mu. Lebih dari kata mendengar.

Tenang saja, omongan kita nanti tidak akan seperti pengkhotbah yang berkepentingan secara sengaja membicarakan segala hal atas kepentingan akhlak mulia bagi ummat beragama. Tapi Itu tidak berarti tidak penting, hanya saja sepertinya terasa lebih sulit. Aku hanya ingin berbicara besok denganmu.

Baiklah, jadi begini, yang akan kuungkapkan besok, secara garis besar kemungkinan seperti ini, bahwa setiap orang bisa saja berubah dalam sekejap pada suatu saat karena sebuah insight yang bisa menyambar dalam hal-hal sederhana ataupun proses yang panjang. Dan perubahan itu, sesuatu yang sulit digambarkan oleh setiap orang karena kompleksitas dunia yang telah di ramu sedemikian rupa oleh Yang Maha Seni. Aku bisa saja tidak bisa menemuimu dengan orang yang sama jika, bahkan hanya beberapa saat tidak mengikuti hidupmu, apalagi terpisahkan dengan ruang yang jauh.

Tapi itu sepertinya kesimpulan keremajaan ku yang terlalu kekanak-kanakan, karena bentukan hal seperti itu tak terelakkan dalam hidup yang aku pilih. Tetapi seperti banyak bentukan lain, memang otak kita sering bekerja untuk mengkotak-kotakkan realitas. Bentukanku ini pun harus tetap dijadikan sebuah sudut memandang. Aku, sepertinya hari ini, dengan jujur, hanya meyakini untuk membuat banyak ruang berdiri di berbagai sudut tetapi tidak melupakan membuat pula jalur untuk bisa melihat lebih dekat atau menjauh serta lebih tinggi dan rendah untuk bisa melihat kedalaman, keterkaitan, dan hubunganku dengannya.

Namun tenang saja, alismu jangan terlalu cepat kau kerutkan (aku berharap besok tidak seperti itu). Karena hal seperti itu terlalu banyak bermain dengan akal. Sementara kita ras manusia memiliki hal hal sederhana yang selalu tidak mampu dirasionalisasikan. Yang banyak mengikat hubungan manusia dengan kebeningan. Cinta yang baik hati itu dengan mudah terikat kebanyak hal seperti teman, keluarga, benda, kita, dan segalanya yang bisa dirasakan. Kita pun akhirnya bisa bertemu besok dengan diri yang telanjang akan kemurnian masing masing.

Jadi yang perlu kita temukan hanyalah, apakah memang kau dan aku tidak saling menjadi halangan atas kehidupan yang tetap harus dijalani di realitas hari ?. Dan karena hambatan pun tidak selamanya buruk. Maka temui aku besok jam 12 siang, saat matahari terik di atas kepala, dan aku akan melihat matamu. Karena sering kali jawaban disana lebih banyak dari ucapanmu bahkan saat ia menutup.




Kamis, 11 Februari 2016

Belajar untuk biasa saja terhadap cinta

Aku mulai memasuki dimensi rasamu, semua aneh tapi terlihat tulus. Namun sejujurnya aku mampu mengungkapkan bahwa kamu tak akan bisa menggambarkan kedalaman, keluasan, dan kebingunggan cintaku yang absurd.

Pikiranku seperti ditutupi kabut yang dipaksa berjalan jongkok di riuh kerumunan orang yang tidak pernah mau perduli. Aku banyak menemukan kata cinta dangkal ketika kupaksa membisikkan di samping telingamu bahwa yang kubawa saat ini bukan hanya sekedar kebingungan akan rasaku. Padahal pintu-pintu itu banyak terbuka sendiri namun begitu enggan rasanya menyapa jauh bahkan sekedar mengintip.

Seketika nyawaku seperti berada di dalam robot besar sebagai pengendali. Namun cintaku berjalan otomatis, ia tidak dikendalikan. Sepertinya ada  sistem refleks yang terjadi jika si robot mengalami kerusakan fisik ataukah pengendali yang mulai lemah untuk mencinta.

Bahasaku kepada mu sepertinya memakai jubah hitam yang malu dan takut memperlihatkan dirinya. Keterbatasan itu menguakkan sebuah jawaban, bahwa hal dibalik itu mengandung sebuah makna misterius. Semuanya menjadi kaku dan bimbang dalam pertemuan bayang. Setelah menyelami mu, aku banyak paham tentang banyak hal yang melekat disetiap dirimu yang menghidup.

Jangan sangka aku berdiam tolol di kursi tempat banyak orang bunuh diri. Causal-causal kompleks lah yang menghantarkan segala yang kuharapkan tidak ber-ada disini. Jika aku lari dari pertempuran konyol ini,  sama saja membunuh diri dari ketiadaan.

Paham ku benar benar tunduk atas tahta kemanusiaan. Pijar-pijar tawaran akan waktu banyak diredupkan oleh hujan yang menangis di gedung tua kota mati. Ia benar benar rapuh dalam serpihan cermin gelap yang tidak mau perduli susahnya ia menjalani perannya.

Terus setelah ku pause waktu sejenak, aku menoleh kebelakang, menggandeng diriku sendiri yang tak berdaya yang melihat seksama ternyata aku hanya mengupas satu buah buku di perpustakaan dunia tempat manusia bermanusia.

Baiklah, setelah semua kupahami dan kulampiaskan, Pada akhirnya dan selalu, aku akan mengalah pada arus samudera di dunia kerinduan hampa.
Belajar untuk biasa saja terhadap cinta


Sabtu, 02 Januari 2016

Masihkan?






Sudah selayaknyalah manusia-manusia memasuki sebuah zeitgeist yang rumit dalam jalur panjang peradaban. Manusia harus dituntun menuju kesadaran bahwa kita telah hampi berada di ujung perjalanan panjang umur bumi. Sudah sepantasnya Psikologi dan ilmu sosial lainnya mampu menjembatani bidang keilmuan dan masyarakat melahirkan pandangan baru, kesadaran baru bahwa kita tidak boleh terjebak kepada hal-hal kedengkian, kerakusan, kemunafikan. Anak-anak generasi baru harus  penuh dengan imajinasi perdamaian dan pembangunan kembali konsep realitas baru. Mereka harus diminimalisirkan oleh pandangan mengecewakan yang sudah mulai menjauh dari jalur kebajikan yang hakiki.

Mayoritas manusia dan sistemnya semakin dan rasanya tetap tidak masuk akal.  Lalu tugas kita adalah memperkuat diri, lalu merancang strategi menuju pertempuran. Pertempuran yang absurd dan ambigu, pertempuran melawan diri sendiri dari kemalasan, kebodohan, keterpenjaraan, kesenangan semu, menuju kesadaran penuh atas seluruhnya. Kemudian memperkuat komunikasi dan ikatan batin yang sebenarnya, membuat kelompok kecil yang memikirkan kedepannya, terlepas dari semua perbedaan. Perjuangan akan ras manusia yang sudah terlalu jauh dalam kebebasannya hidup di bola kecil diantara milliaran benda angkasa yang tak terhitung.

Apa yang patut di banggakan? Pada titik itu, kesadaran kemanusiaan terdalam akan menuntun penuh dalam pemilahan kehidupan, pandangan, dan sikap dalam berkehidupan. Berhentilah hidup di arena penuh spekulasi memuakkan.

Lalu jalin komunikasi yang baik....
Tidak.... maksudnya komunikasi yang sebenarnya, komunikasi yang melibatkan sisi sisi kemanusiaan terdalam.


Minggu, 20 Desember 2015

Apakah realitas itu? Part 1




Pertama-tama, kita harus benar-benar membedakan diri kita sebagai manusia, sebagai individu yang berdiri sendiri dengan eksternal diri. Anggaplah kita semua belum tercipta sebelumnya, dan mari kita melihat dari pandangan objektif revolusi yang terjadi.

Alam atau bumi kita atau eksternal manusia adalah bentukan murni seratus persen. Tuhan menciptakan alam dengan hukum-hukum dan cara kerjanya yang kita anggap sebagai bentuk kesempurnaan. Berbagai siklus, simbiosis mutualisme, dan proses-proses alam terjadi.

Dilain sisi Tuhan kita anggap melelang ‘Nafsu’ kepada makhluknya. Dan saat itu terjadi, hanya manusia yang menyanggupi menerimanya. Mengapa manusia disebut sebagai makhluk paling sempurna? Karena pemberian nafsu dan akal/nalar yang sangat luarbiasa dan memungkinkan kita mempertanyakan pencipta kita, meragukan apa saja, mengimajinasikan apa saja. Nafsu dan akal bisa menjadi transportasi manusia untuk menuju tingkatan lebih beriman dari Malaikat atau lebih berdosa dari setan.

Setelah kita paham akan kemurnian alam dan kebebasan yang mendekati kesempurnaan dari manusia, keduanya lalu digabungkan, ditempatkan bersamaan dalam suatu ruang dan saling berproses didalamnya. Kita kemudian diberikan senjata berupa indra/sensori, dan perasaan sebagai pengelolanya, dan akhirnya nalar serta akal yang memutuskan. Kita melihat sebuah lembah bunga mawar, kemudian merasakan sebuah keindahan dan kesejukan, dan memutuskan untuk duduk melihatnya serta tidak merusak mereka. Dilain kasus kita mungkin melihat singa yang memburu kijang dan memangsanya, kemudian merasakan sebuah ketegangan, kecemasan, ketakutan, lalu lari bersembunyi.

Jadi Perasaan adalah sebuang ruang yang menjadi olahan apa yang indra rasakan. Perasaan mampu mengubah suasana pribadi manusia menjadi apa yang dinginkan, baik sadar ataupun tidak.  Ketika kita mengolah perasaan dalam sebuah kesenangan, akan tercitra dunia yang murni menjadi sebuah keindahan, perilaku yang didasarkan nalar dan nafsu menjadi ikut bahagia. Namun perasaan yang mengelola perasaan kecewa, sedih atau menderita akan menarik citra alam atau kondisi eksternal manusia menjadi bentukan yang suram, penuh ketidakbahagiaan. Nafsu dan nalar juga ikut-ikutan memutuskan apa yang perasaan gambarkan.

Perasaan mampu menggambarkan citra eksternal dan memandang dunia dalam bentuk apa saja. Jika kita sedih, mungkin kita akan menganggap dunia yang tidak adil terhadap kita, semuanya menjengkelkan, malas untuk melakukan hal yang baik-baik, rapuh untuk tetap berjuang, merasa tidak berharga, melihat sesuatu menjadi tak bermakna.

Maka mari kita sadari betul apa yang perasaan rasakan, karena eksternal tetap akan pada realitasnya yang murni dan tak pernah ada rasa apapun didalamnya. Ia akan tetap demikian sampai sebuah tindakan dilakukan secara fisik. Tetaplah berproses dengan perasaan apapun. Karena perasaan juga merupakan sebuah mahakarya, ia memainkan peran penting, sebagai insting yang sangat kuat sebagai makhluk. Perasaan adalah pewarna dalam gambaran memahami semua.

Sedihmu tidak akan 100% menjelaskan kesedihan sebenarnya, maka kebahagiaan tidak pula.
Sadari, dan tetap berproses





Jumat, 18 Desember 2015

BAYI


Tiba-tiba dan selalu, jantungku mulai bergerak lebih dan berkata aneh. Membaca sejarah selalu berhasil membawaku pada waktu yang berbeda. Begitu nyata. Hasrat, suasana, ketegangan, kesenangan, kesedihan kadang-kadang menjadikan dirinya jembatan untuk menyentuh apa saja yang kau ingin sentuh.

Gagasan tidak hanya menjadi suatu deskriptif indah. Namun menarik sebuah pemicu emosional dalam bungkusan sejarahnya melalui realitas waktu. Begitu banyak manusia melangkahi tempat yang di injak saat ini, kemudian membagi kisahnya serta konflik yang membawa peradaban dan pemahaman sampai ketitik sekarang.


Persetan dengan sains yang selalu sombong dengan realita, namun begitu menjengkelkan karena berhasil membawa anak tangga menuju kemanusiaan. Sepertinya saya mulai gamblang merasakan semuanya. Terlalu kompleks perjalanan sebuah mahakarya fikiran Tuhan. Sepertinya kebebasan yang sebenarnya ialah fikiran, lalu di penjarakan oleh material yang kemudian kita agungkan sebagai realitas. Sementara perjuangan adalah perwujudan kesadaran. lalu apa? terbaglah kemana mana, kemudian sadari.








Jumat, 11 Desember 2015

ASAP


Saya tidak akan mempertanyakan dengan berlebihan tentang inikah yang disebut jatuh cinta? Karena kebenaran rasa ku begitu menguak, bahwa sepertinya ia telah merasuk ke bagian kecil dari sudut hatiku. Saya tak menyangka akan seintim ini kepadanya. Ia mampu memikat ku dan menenangkan ku dengan janji janji pelukan mesra. Jangan katakan lagi bahwa dia abstrak. Dia adalah Ilmu Psikologi.

Sosok mahakarya dalam sebuah perjalanan sejarah pelik. Dengan panji-panjinya yang selalu membingungkan, membisikkan sebuah aura kebijaksanaan. Memperkenalkanku pada kehidupan sebenarnya, memperlihatkan sisi-sisi kabur dalam perjalanan. Kalau kita sepakat untuk berjalan dengan tongkat-tongkat arah pada kesesuaian, psikologi telah menjadi bagian dariku.

Lalu semunafik apa realitas aturan berjalan? Goblok. Tidak akan bisa menang. Ia hanya mampu bersembunyi pada alasan generalisasi. Sementara memutuskan untuk berfikir membuat yang lainnya sengsara setengah mati. Dunia ini memang sepertinya berjalan dengan sangat kompleks dan membingungkan. Terlalu banyak manusia bisa selalu kujadikan alasan manjur dalam ketenangan meta. Sambil liar mengkonstruksi apa saja yang terasa.

Pada akhirnya saya tidak akan punya pilihan lain selain berjalan pada garis-garis jurang yang telah tersedia. Bahwa bumiku begitu luas, manusia siapa saja mampu melangkah ke arah mana saja, selama Tuhan tetap masih bisa dijadikan sandaran kuat bagi pribadi yang penuh kesepian. Selama itu akan kuteriakkan bahwa penjara-penjara kecil telah kokoh, sambil perlahan diam menjadi asap.




 
biz.