Minggu, 20 Desember 2015

Apakah realitas itu? Part 1




Pertama-tama, kita harus benar-benar membedakan diri kita sebagai manusia, sebagai individu yang berdiri sendiri dengan eksternal diri. Anggaplah kita semua belum tercipta sebelumnya, dan mari kita melihat dari pandangan objektif revolusi yang terjadi.

Alam atau bumi kita atau eksternal manusia adalah bentukan murni seratus persen. Tuhan menciptakan alam dengan hukum-hukum dan cara kerjanya yang kita anggap sebagai bentuk kesempurnaan. Berbagai siklus, simbiosis mutualisme, dan proses-proses alam terjadi.

Dilain sisi Tuhan kita anggap melelang ‘Nafsu’ kepada makhluknya. Dan saat itu terjadi, hanya manusia yang menyanggupi menerimanya. Mengapa manusia disebut sebagai makhluk paling sempurna? Karena pemberian nafsu dan akal/nalar yang sangat luarbiasa dan memungkinkan kita mempertanyakan pencipta kita, meragukan apa saja, mengimajinasikan apa saja. Nafsu dan akal bisa menjadi transportasi manusia untuk menuju tingkatan lebih beriman dari Malaikat atau lebih berdosa dari setan.

Setelah kita paham akan kemurnian alam dan kebebasan yang mendekati kesempurnaan dari manusia, keduanya lalu digabungkan, ditempatkan bersamaan dalam suatu ruang dan saling berproses didalamnya. Kita kemudian diberikan senjata berupa indra/sensori, dan perasaan sebagai pengelolanya, dan akhirnya nalar serta akal yang memutuskan. Kita melihat sebuah lembah bunga mawar, kemudian merasakan sebuah keindahan dan kesejukan, dan memutuskan untuk duduk melihatnya serta tidak merusak mereka. Dilain kasus kita mungkin melihat singa yang memburu kijang dan memangsanya, kemudian merasakan sebuah ketegangan, kecemasan, ketakutan, lalu lari bersembunyi.

Jadi Perasaan adalah sebuang ruang yang menjadi olahan apa yang indra rasakan. Perasaan mampu mengubah suasana pribadi manusia menjadi apa yang dinginkan, baik sadar ataupun tidak.  Ketika kita mengolah perasaan dalam sebuah kesenangan, akan tercitra dunia yang murni menjadi sebuah keindahan, perilaku yang didasarkan nalar dan nafsu menjadi ikut bahagia. Namun perasaan yang mengelola perasaan kecewa, sedih atau menderita akan menarik citra alam atau kondisi eksternal manusia menjadi bentukan yang suram, penuh ketidakbahagiaan. Nafsu dan nalar juga ikut-ikutan memutuskan apa yang perasaan gambarkan.

Perasaan mampu menggambarkan citra eksternal dan memandang dunia dalam bentuk apa saja. Jika kita sedih, mungkin kita akan menganggap dunia yang tidak adil terhadap kita, semuanya menjengkelkan, malas untuk melakukan hal yang baik-baik, rapuh untuk tetap berjuang, merasa tidak berharga, melihat sesuatu menjadi tak bermakna.

Maka mari kita sadari betul apa yang perasaan rasakan, karena eksternal tetap akan pada realitasnya yang murni dan tak pernah ada rasa apapun didalamnya. Ia akan tetap demikian sampai sebuah tindakan dilakukan secara fisik. Tetaplah berproses dengan perasaan apapun. Karena perasaan juga merupakan sebuah mahakarya, ia memainkan peran penting, sebagai insting yang sangat kuat sebagai makhluk. Perasaan adalah pewarna dalam gambaran memahami semua.

Sedihmu tidak akan 100% menjelaskan kesedihan sebenarnya, maka kebahagiaan tidak pula.
Sadari, dan tetap berproses





 
biz.