Minggu, 29 November 2015

SEMENTARA


Ternyata Aku harus lebih dewasa menafsirkan lingkungan. Semua mampu berpendapat apa saja, dan merasuki gerbang keputusan. Apa yang mampu kuandalkan selain diajak angin lalu memotret jejak di lumpur penghisap? Kadang-kadang ku asingkan diri walaupun sebatas perasaan di jembatan gantung tempat orang-orang putus asa dan bunuh diri.

Kemudian tawa kecil datang, menarik kumpulan cahaya, lalu melukis wajah dan tubuhku dengan semaunya. Sementara kepalaku di borgol dan dadaku di ikat kencang. Mereka berbicara, sampai kepalaku mengangguk, dan melepaskan perlahan. Membiarkan saya terbang kesana kemari tak berarah.

Aku tersesat....

Setelah kucurahkan semua, Apa yang kudapat? Hanyalah pernak-pernik dan runtuhan bekas bangunan bersejarah. Kukumpulkan semua dan berharap, setidaknya pondasi-pondasi harapan bisa kubangun sendiri.

Dengan teropong, banyak kulihat dari kejauhan rintihan kecil. Mereka memaksa mengirimkan desain bangunan harapan. Padahal diri sendiri masih mengais sisa sisa semangat dalam imajinasi. Terlambat !!! Badai dan angin topan dari belakangku sudah mendekat. Tidak ada kesempatan. Dengan tangan penuh darah, kususun semuanya.


Semoga apa saja keabstrakan di saat nanti, kuharap bangunanku bisa menahan angin kencang itu dari mereka. Aku sedang... sementara....

Anwar – RASA


Tak di sengaja diri ini kembali dipertemukan pada gesekan dalam perjalanan. Rasa benar-benar dipermainkan malam ini. Saya mampu jatuh cinta, mampu benci, mampu resah, mampu jengkel, mampu sedih, mampu ceria dalam sekejap pada gerakan sekitar. “Omah Komunitas – Inspirasi” mengadakan apa yang mereka sebut ‘Soft-Launching’ cafe ataupun wadah sebagai ruang baru mendeklarasikan rasa. Sepertinya

Adalah prosa, teater, monolog, puisi, musik, dan tarikan nafas dari raut wajah yang tercipta pada setiap sosok yang hadir mampu menjatuhkan ku dalam permainan seni. Sementara setiap beban ini masih terus saja membusuk didalam, biarkan hidup tetap hidup.

Pertemuanku kali ini menjadi hal baru dengan Mas Anwar. Ia sosok pelaku seni hidup. Aku tidak paham bagaimana semua berjalan. Manusia benar-benar diambang kesempurnaan makhluk. “Memang benar adanya manusia dengan Kecerdasan Rasa” katanya. Pelaku seni akan terus berjumpa pada asah kepekaan rasa setiap saat. Mereka akan cenderung menjadi perasa yang baik dan cepat. Secepat apapun dalam rasa.

Walaupun rasa itu akan menjadi konsepsi manusia keseluruhan. Namun, melihat hal-hal menjadi begitu dalam dan mempengaruhi diri akan menjadi kunci dalam gerbang sempit. Keos yang bertabrakan pada apapun atau hanya sekedar bergesekan tetap akan menimbulkan bekas lalu berubah menjadi hubungan dan komunikasi intra diri. Imaji apapun yang kita susun, tak akan pernah mampu lepas dari dirinya dalam membaca seluruhnya. Tidak akan ada pengadilan rasa pada titik ini, namun hanya ada pilihan tetap hidup atau mati.  


Sampai berjumpa lagi, Makasih

 
biz.