Rabu, 05 November 2014

PASAR BEBAS AFTA (Asean Free Trade Area) 2015


Sejak dua tahun terakhir ingar-bingar pemberitaan tentang AFTA meluas pesat. Kecemasan mulai menggerogoti fikiran kaum intelektual. AFTA (Asean Free Trade Area) adalah salah  satu  kesepakatan oleh negara-negara di asia tenggara yang telah dilakukan di Singapura pada tahun 1992. Dalam pertemuan ASEAN Summit ke-4 yang di awali oleh enam negara yaitu Brunei,  Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, serta Vietnam, kemudian disusul Laos dan Myanmar pada tahun 1997, serta Kamboja di tahun 1999. Pelaksanaan perjanjian AFTA ini berupa dibentuknya Asean Economic Comunity (AEC), yang diintegrasikan pada tahun 2015. AEC ini akan mengubah ASEAN menjadi daerah dengan pergerakan bebas pada barang, pelayanan, investasi, tenaga kerja yang terampil,dan aliran modal yang lebih bebas juga.

Beberapa tujuan AFTA yakni menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global, kemudian menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI), serta meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade). Untuk menyederhanakan AFTA, kita bisa membayangkan ketika barang-barang  akan bebas berputar di negara-negara Asia tenggara tanpa adanya pajak. Pelajar akan bebas berpendidikan dinegara Asiatenggara dan seluruh manyarakat punya hak untuk tinggal dan bekerja dimanapun dikawasan AFTA tanpa visa.

Namun ada tantangan besar yang harus dihadapi Indonesia dalam menyambut AFTA, yaitu yang pertama bagaimana produsen Indonesia dituntut untuk terus dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara profesional guna dapat memenangkan kompetisi produk, disamping itu pemberdayaan SDM di Indonesia masih jauh tertinggal, dilihat dari catatan BPS pada Agustus 2013, bahwa pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 6,25%. Dari sumber yang sama kita dapati masih ada lebih dari 360 ribu sarjana yang menganggur. Angka yang sangat memprihatinkan, dan berdasarkan indeks kompetensi yang dikeluarkan oleh World Economic Forum pada tahun 2013, bahwa Indonesia menempati urutan ke-50 atau lebih rendah dari Singapura (ke-2), Malaysia (ke-20), dan Thailand (ke-30). Rendahnya kompetensi sumber daya Indonesia diperoleh dari faktor-faktor yang saling berkaitan seperti: tenaga kerja/ahli profesi yang tidak memiliki kualifikasi mumpuni; minimnya pelaksanaan sertifikasi kompetensi; belum sesuainya kurikulum di sekolah menengah dengan keahlian profesi; serta sumber daya manusia di Indonesia yang sangat berlimpah namun belum dapat dioptimalkan oleh pemerintah. Apalagi melihat tamatan SMA, SMP dan SD, tentunya akan mempunyai kesulitan yang lebih dalam persaingan mencari kerja. Dengan adanya diterapkannya AFTA bisa jadi akan ada ledakan pengangguran terdidik yang semakin nyata. Tenaga kerja dari luar negeri akan menjadi tenaga-tenaga ahli, sementara kita hanya akan mengirim mayoritas tenaga kerja kasar seperti pembantu rumah tangga, sopir, dan pekerja pabrik. Apalagi Indonesia adalah target pasar nomor empat didunia, tidak heran ketika Ashwin Pulunga berpendapat, bahwa “sadarkah kita semua bahwa AFTA dan WTO  merupakan grand strategi tinggi para kapitalis dunia untuk menghilangkan kedaulatan sebuah negara?” selain Indonesia sendiri, negara seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar sebenarnya juga jika dilihat dari data-data dan hasil survei belum siap akan AFTA.

 Terlepeas dari itu, ada beberapa keuntungan yang bisa didapat Indonesia dengan adanya AFTA, seperti peningkatan dalam memanfaatkan Pariwisata sebagai sumber devisa selain dari sumber daya alam, kerjsama menjalankan bisnis  dengan  pelaku bisnis di negara-negara Asean, peluang pasar yang besar dan luas bagi produk Indonesia.

Saya rasa ini adalah salah satu informasi yang wajib diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutam mahasiswa untuk mempersiapkan diri. Saya paham betul bahwa Indonesia belum siap dengan ini, namun kesepakatan akan tetap terlaksana di tahun depan, 2015 sekitar bulan Desember. Kita punya seribu alasan untuk mengatakan Indonesia tidak siap dengan AFTA, namun mari kita memulai dengan planning diri sendiri untuk menghadapi AFTA, misalnya bercita-cita dan berjuang untuk bisa berpendidikan tinggi di dalam maupun diluar negeri, meghasilkan/menciptakan  produk-produk baru yang bisa bersaing, atau mempersiapkan planning lain yang meningkatkan kualitas diri.

Menyalahkan Indonesia hanyalah gerakan jalan ditempat. Indonesia hanyalah nama, benda mati yang digerakkan oleh manusia-manusia yang bernaung didalamnya. Gerakan persiapan yang bisa ditiru yaitu, seperti negara Brunei Darussalam yang menambahkan kurikulum bahasa Indonesia di SMA untuk meghadapi AFTA. Bahasa Inggris adalah harga mati untuk ini semua.

Kita bisa merasakan gerakan semangat menghadapi AFTA yang ditunjukkan lewat seminar dan talkshow beberapa Universitas di Indonesia khususnya Fakultas Psikologi. Seperti di UAD oleh Drs.choirul Anam, M.Si dengan topik “Persaingan Menghadapi AFTA/ASEAN Community 2015”. Ada lagi  di kota Manado yang menjadi tuan rumah event bertaraf nasional dengan gelaran temu ilmiah dan kongres Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) yang mengundang beberapa utusan negara di ASEAN, dengan topik “Pembahasan Integritas, Keberbedaan & Kesejahteraan Psikologi: Psikologi Menjawab Tantangan Nasional, Regional, dan Internasional”. Di antara beberapa tokoh yang akan hadir adalah DR. Goh Chee Leong (President ASEAN Regional Union of Psychological Society), DR. Bambang Widjojanto (Komisi Pemberantasan Korupsi), Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si (pakar Psikologi Politik Indonesia), serta Seto Mulyadi (psikolog anak dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak). Kemudian gerakan PSYWEEK oleh BEM Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dengan topik “Mempersiapkan mahasiswa, umumnya generasi muda, khususnya mahasiswa psikologi, dalam menyambut pelaksanaan dari perjanjian Asean Free Trade Area (AFTA)”.

 
biz.