Senin, 16 November 2015

HARMONIS TUJUH BELAS Nov


Adakah saya berani mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu? Atau rangkaian kata semoga? Atau memberi mu sesuatu dalam keterbatasanku? Lebih jauh dari makna semua, jika kuberi kau hal yang biasa itu menjelaskan kau tidak berarti spesial bagiku.

Lihatlah lampu di kamarmu, matahari di siang, dan bulan pada malam. Saya tidak harus mengucapkan apa-apa selain diam dan melupakannya. Bahwa sesuatu yang sangat bermakna dan bermanfaat itu terlalu sederhana dibalas dengan kata dan tindakan yang terbatas. Terlalu lama jika kutunggu satu hari dalam tiap tahun untuk mengingat apa yang telah tertanam, Kau, Aku.

Namun dalam diam, ternyata ada terselip dosa kecil yang mengganggu. Komunikasi-komunikasi sederhana mungkin lebih mampu membuat kita selangkah lebih dekat pada hal yang entah. Kebencian jarak selalu membuat rindu jadi makin harmonis, rindu jadi makin bijak, rindu jadi makin melekatkan.


Lalu apa yang pantas? Maha Terima Kasih berhasil kau rebut




TETAPLAH


Selalu saja saya, atau mungkin sebagian besar dari kita terjebak dalam penilaian-penilaian tumpul. Bagaimana mungkin kita menilai suatu hal dalam amatan sepintas, apalagi menilai manusia. Manusia adalah makhluk terumit yang terlanjur diciptakan. Gagasan dan teori apapun bisa ditempelkan padanya. Dan uniknya dari kacamata manapun kita melihat, manusia mampu memenuhi semuanya, dan mampu untuk tidak memenuhi semuanya. Atau manusia pada dasarnya kerumitan itu sendiri? Lantas kita selalu memberikan kesimpulan kepada manusia lain pada setitik waktu dalam hidupnya. Ayolah.... 24 jam sehari, 365 hari setahun, berapa banyak orang yang dia temui, berapa banyak inspirasi yang didapat, bagaimana gesekan lingkungan yang dihadapi? Dan setelah bercengkrama pada sebuah titik kecil di waktu umurnya kau mengatakan baik, buruk, pintar, bodoh, hebat, biasa. kasian

Siapa manusia paling sunyi di dunia ini? Merekalah orang-orang yang memutuskan dirinya untuk menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang memutuskan untuk berfikir. Namun sayangnya, kedalaman dalam berfikir selalu ditumpulkan oleh lingkungan. Manusia yang berfikir dalam berarti sudah siap atau mau tak mau siap untuk mengalami banyak kekecewaan, karena menjadi minor. Lihat saja puisi-puisi mengalir dari pesajak seperti Rendra, Saut, Gusmus, Chairil Anwar, lihat saja pemikir-pemikir besar menyatakan diri seperti Galileo, Descartes, Marx, Nietzche, lihat saja penemu-penemu besar merasakan seperti Einstein, Edison dan masih banyak manusia lain, yang menganggap dunia ini penuh dengan kesepian. Kalian yang merasakan sepi akan kesendirian? Kalian tidak sendiri
Namun tetaplah bermanusia, tetaplah gunakan topeng-topeng itu. Diluar sana terlalu kejam, terlalu sadis. Tetaplah melakukan, tetaplah memberi. Diluar sana membutuhkan. Apa sebenarnya yang dicari dalam hidup ini? Itu tidak sesimpel makan, minum, beranak, senyum, dan mati. Semua saling membutuhkan. Namun seringkali tanggung jawab hanya muncul diwilayah kesadaran. Namun sejauh mana kesadaran mampu dibatasi?


Tetaplah sepi, tetaplah sadar, tetaplah hidup


 
biz.