Kamis, 14 Mei 2015

JANGAN LUPA SENYUM


 Pagi itu berlalu begitu saja. Hari-hari berjalan cepat membosankan. Apa bedanya hari kemarin sama hari ini? Hambar. Jam perkuliahan terakhir dipaksa berhenti oleh kesibukan dosen yang katanya mau mengurus sesuatu lebih penting daripada mengajar dikelas. Padahal pembahasan mengenai Fase Kelahiran mulai menarik hati, membayangkan diri ketika suatu saat punya istri cantik beraut kesakitan karena kontraksi bayi di perutnya.

Kuayun malas kedua kaki sambil mencari sela kendaraan untuk menyebrang. Kedua tangan siap merapikan rambut yang selalu jatuh lemas dan menutupi mata. Menyusuri jalanan kecil batako samping gedung pusat yang hanya bisa dilewati satu pejalan kaki. Kadang saya mengalah pada dosen lain ketika mereka jalan bersebrangan di jalan yang sama.

Matahari menyengat, menembus dua lapis bajuku. Terasa tas kecil yang tergantung di pundak kiri mulai memberat. Tiba-tiba sebuah mobil sedan gelap lewat lambat sebelah kiri. Kaca mobil terbuka dengan cepat. Ada suara akrab bak sahabat mendengung “Uci……!!” . Kepalaku mengayun mencari sumber suara dengan tangan kanan mengayungk rambut ke atas karena jalan tunduk meresapi panas siang itu. “udah selesai kuliah?” katanya. “Iya pak” jawabku super singkat. “ohh…Ok Uci” responnya sambil melambaikan tangan kanan keluar kepadaku menandakan mobilnya akan melaju lebih cepat meninggalkanku. “hati-hati pak” dengan nada sedikit naik karena jarak mulai menjauh. Tangannya mulai mengepal sambil mengacungkan jempolnya, seolah berkata “OK”. Senyumnya tak pernah berhenti memberi cahaya dijiwa. Baru kudapati senyum tulus seperti itu sejak bangun lemahku di pagi buta.

Memang agak lebay. Namun saya merasakan betul ada sebuah kerendah hatian seorang dosen. Mungkin bagi orang dengan lingkungan penuh senyum, itu tidak berarti apa-apa. Namun posisiku dengan lingkungan monoton merasakan kenyamanan berarti. Ini sama saja dengan kita jika  tiap hari makan pizza misalnya akan biasa saja  dibanding jika keseharian kita makan tempe tahu dan tiba-tiba dapat makanan seperti pizza. Tidakkah itu member  kenyamanan lebih yang luarbiasa?

Namanya Drs. Wahyu Widodo, S.Psi, M.Ag , yang akrab di sapa pak Wahyu. Ia mengajar sosiologi dan filsafat manusia di F.Psikologi Univ Merdeka Malang. Ia orang yang santun dan terlihat bijaksana. Saya hanya tidak menyhangka ia mau menyapa saya di tengah jalan dan bertanya basa basi plus senyuman tulus kepada ku. Sebelumnya tak pernah kujumpai dosen sedermawan dia.

Makasih pak, dari kejadian singkat itu saya belajar banyak bahwa ternyata sapaan dan senyum dengan hati yang tulus bisa memberi kesan menakjubkan jika dilakukan kepada siapa saja tanpa mengenal usia, jabatan, gender dan lainnya.

Jangan bandingkan dengan kalian yang sudah sering mendapat sapaan tulus dari orang lain apalagi dosen. Jiwaku disini tidak. Makanya momen ini kutulis dengan harapan rasa ini tersampaikan bahwa “senyum dan sapaan itu tidak hanya sekedar ibadah” lebih dari itu. Hariku saat itu berubah senyum dan sapa mulai kulontar kepada bapak yang jaga parkiran, bapak tukang kebun, ibu yang jualan, ibu pembantu sebelah rumah, bapak penjual bakso, teman-teman, dan orang lain yang kutemui.


Juga perempuan cantik disana. Jangan lupa BAHAGIA, jangan lupa SENYUM  

 
biz.