Kamis, 11 Februari 2016

Belajar untuk biasa saja terhadap cinta

Aku mulai memasuki dimensi rasamu, semua aneh tapi terlihat tulus. Namun sejujurnya aku mampu mengungkapkan bahwa kamu tak akan bisa menggambarkan kedalaman, keluasan, dan kebingunggan cintaku yang absurd.

Pikiranku seperti ditutupi kabut yang dipaksa berjalan jongkok di riuh kerumunan orang yang tidak pernah mau perduli. Aku banyak menemukan kata cinta dangkal ketika kupaksa membisikkan di samping telingamu bahwa yang kubawa saat ini bukan hanya sekedar kebingungan akan rasaku. Padahal pintu-pintu itu banyak terbuka sendiri namun begitu enggan rasanya menyapa jauh bahkan sekedar mengintip.

Seketika nyawaku seperti berada di dalam robot besar sebagai pengendali. Namun cintaku berjalan otomatis, ia tidak dikendalikan. Sepertinya ada  sistem refleks yang terjadi jika si robot mengalami kerusakan fisik ataukah pengendali yang mulai lemah untuk mencinta.

Bahasaku kepada mu sepertinya memakai jubah hitam yang malu dan takut memperlihatkan dirinya. Keterbatasan itu menguakkan sebuah jawaban, bahwa hal dibalik itu mengandung sebuah makna misterius. Semuanya menjadi kaku dan bimbang dalam pertemuan bayang. Setelah menyelami mu, aku banyak paham tentang banyak hal yang melekat disetiap dirimu yang menghidup.

Jangan sangka aku berdiam tolol di kursi tempat banyak orang bunuh diri. Causal-causal kompleks lah yang menghantarkan segala yang kuharapkan tidak ber-ada disini. Jika aku lari dari pertempuran konyol ini,  sama saja membunuh diri dari ketiadaan.

Paham ku benar benar tunduk atas tahta kemanusiaan. Pijar-pijar tawaran akan waktu banyak diredupkan oleh hujan yang menangis di gedung tua kota mati. Ia benar benar rapuh dalam serpihan cermin gelap yang tidak mau perduli susahnya ia menjalani perannya.

Terus setelah ku pause waktu sejenak, aku menoleh kebelakang, menggandeng diriku sendiri yang tak berdaya yang melihat seksama ternyata aku hanya mengupas satu buah buku di perpustakaan dunia tempat manusia bermanusia.

Baiklah, setelah semua kupahami dan kulampiaskan, Pada akhirnya dan selalu, aku akan mengalah pada arus samudera di dunia kerinduan hampa.
Belajar untuk biasa saja terhadap cinta


Sabtu, 02 Januari 2016

Masihkan?






Sudah selayaknyalah manusia-manusia memasuki sebuah zeitgeist yang rumit dalam jalur panjang peradaban. Manusia harus dituntun menuju kesadaran bahwa kita telah hampi berada di ujung perjalanan panjang umur bumi. Sudah sepantasnya Psikologi dan ilmu sosial lainnya mampu menjembatani bidang keilmuan dan masyarakat melahirkan pandangan baru, kesadaran baru bahwa kita tidak boleh terjebak kepada hal-hal kedengkian, kerakusan, kemunafikan. Anak-anak generasi baru harus  penuh dengan imajinasi perdamaian dan pembangunan kembali konsep realitas baru. Mereka harus diminimalisirkan oleh pandangan mengecewakan yang sudah mulai menjauh dari jalur kebajikan yang hakiki.

Mayoritas manusia dan sistemnya semakin dan rasanya tetap tidak masuk akal.  Lalu tugas kita adalah memperkuat diri, lalu merancang strategi menuju pertempuran. Pertempuran yang absurd dan ambigu, pertempuran melawan diri sendiri dari kemalasan, kebodohan, keterpenjaraan, kesenangan semu, menuju kesadaran penuh atas seluruhnya. Kemudian memperkuat komunikasi dan ikatan batin yang sebenarnya, membuat kelompok kecil yang memikirkan kedepannya, terlepas dari semua perbedaan. Perjuangan akan ras manusia yang sudah terlalu jauh dalam kebebasannya hidup di bola kecil diantara milliaran benda angkasa yang tak terhitung.

Apa yang patut di banggakan? Pada titik itu, kesadaran kemanusiaan terdalam akan menuntun penuh dalam pemilahan kehidupan, pandangan, dan sikap dalam berkehidupan. Berhentilah hidup di arena penuh spekulasi memuakkan.

Lalu jalin komunikasi yang baik....
Tidak.... maksudnya komunikasi yang sebenarnya, komunikasi yang melibatkan sisi sisi kemanusiaan terdalam.


 
biz.